“Bu, aku baca di buku pelajaran, atmosfer bumi itu berwarna biru. Berarti seharusnya langit berwarna biru, bukan? Namun, kenapa aku tidak pernah melihat langit biru? Justru langit abu-abu gelap yang setiap hari aku lihat.”
Aku khawatir beberapa tahun ke depan ada anak yang menanyakan pertanyaan di atas. Kira-kira, jawaban apa yang pas untuk pertanyaan tersebut?
a. “Iya, Nak. Atmosfer bumi memang berwarna biru. Namun, nenek moyang kita dulu amat mager (malas gerak). Ke mana-mana naik kendaraan bermotor, ke warung dekat rumah saja naik motor. Sudah gitu maunya pakai BBM murah yang menghasilkan gas penyebab polusi udara. Beginilah akibatnya, langit kita tidak berwarna biru.”
b. “Buku pelajaran itu tidak salah, Nak. Yang salah adalah nenek moyang kita dulu yang membakar hutan demi membuka lahan. Akibatnya, kabut asap meraja lela, menutupi birunya langit. Tak hanya negara kita yang kena imbasnya, negara tetangga pun protes karena kita mengimpor kabut asap ke negara mereka. Tak hanya asap kebakaran hutan, nenek moyang kita dulu juga suka membakar sampah, menambah buruknya kualitas udara kita.”
c. “Dulu warna langit memang biru, Nak. Lambat laun warna biru itu memudar, berubah jadi abu-abu yang kian gelap setiap hari. Seperti yang kita tahu, kita tak bisa hidup tanpa listrik. Namun, dulu nenek moyang kita masih memakai batu bara sebagai pembangkit listrik. Pemakaian bahan bakar fosil menghasilkan banyak gas yang berbahaya dan menyebabkan polusi udara. Dulu, nenek moyang kita sangat tidak bisa menghemat listrik. AC menyala sepanjang hari, TV tetap hidup bahkan ketika yang menonton sudah tidur, lampu tidak dimatikan di siang hari. Pokoknya, semua alat elektronik menyala sepanjang waktu.”
d. “Entahlah, Nak. Ibu juga tidak pernah melihat langit biru. Yang ibu ingat, ibu selalu melihat langit berwarna abu-abu gelap. Ketika bernapas, ibu mencium bau menyengat, dada terasa sesak, dan mata pun terasa perih. Mungkin oksigen di bumi semakin menipis. Lihat saja, sepanjang mata memandang hanya bangunan perumahan dan gedung pencakar langit yang kita lihat, tak ada sebatang pohon pun yang tumbuh. Bumi kita tak lagi hijau, hutan-hutan ditebas untuk membangun infrastruktur.”
e. Semua benar.
Ulah Manusia Dalam Kerusakan Lingkungan
Bukan tidak mungkin percakapan di atas akan terjadi kepada anak cucu kita. Semua tergantung kepada kita. Apakah akan berusaha mencegah pencemaran udara atau bersikap masa bodoh dengan apa yang terjadi di masa depan?
Tak perlu jauh-jauh memikirkan masa depan, sekarang pun dampak pencemaran udara sudah terasa. Pencemaran udara menjadi faktor risiko banyak penyakit seperti infeksi saluran pernapasan, asma, kanker paru-paru, penyakit paru obstruktif kronis, dan penyakit kardiovaskular.
Mari kita bermain tebak-tebakan sejenak. Sebutkan daerah di Indonesia yang mempunyai 3 musim!
"Hah! Memangnya Indonesia punya 3 musim?"
Sejak tinggal di Riau tahun 2015 lalu, aku baru tahu bahwa ternyata ada daerah di Indonesia yang tidak mempunyai dua musim, melainkan tiga musim. Riau adalah salah satunya. Selain musim hujan dan kemarau, warga Riau merasakan satu musim lagi, yaitu “musim kabut asap”.
Sekarang memakai masker ketika keluar rumah menjadi “tren” karena covid. Namun, bagi warga Riau hal ini bukan hal baru, melainkan sudah bertahun-tahun, tiap muncul kabut asap.
Penyebab kabut asap adalah kebakaran hutan dan lahan, baik disengaja oleh manusia untuk membuka lahan ataupun karena cuaca yang sangat panas. Sebagian besar lahan yang terdiri dari lahan gambut sangat mudah terbakar di musim kemarau.
Beberapa hari ini pun bau asap sudah mulai tercium di daerahku, yaitu Pelalawan, Riau. Ternyata ada beberapa titik api yang mulai muncul. Semoga saja titik api tidak meluas dan menyebabkan kabut asap. Belum selesai covid, jangan sampai diperparah dengan bencana kabut asap.
Tak hanya kebakaran hutan, pencemaran udara juga disebabkan oleh asap kendaraan bermotor, terutama di kota besar seperti Jakarta. Sebagai ibukota negara, aktivitas penduduk sangat tinggi. Jalanan pun dipenuhi dengan kendaraan yang menimbulkan asap penyebab polusi.
Beberapa minggu lalu, foto penampakan Gunung Gede Pangrango yang terlihat dari Jakarta menjadi viral. Menurut Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, fenomena tersebut terjadi karena kualitas udara Jakarta yang membaik. PSBB karena pandemi mengurangi aktivitas masyarakat di luar sehingga polusi akibat asap kendaraan pun berkurang. Namun, apakah harus ada pandemi dulu untuk memaksa kita berubah?
Beberapa hari lalu, aku mengikuti diskusi publik tentang penggunaan BBM ramah lingkungan bersama Kantor Berita Radio (KBR) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). “75% penyebab polusi udara adalah kendaraan bermotor darat,” tutur Pak Tulus Abadi selaku ketua pengurus harian YLKI.
Apalagi masih banyak warga yang memilih bahan bakar yang tidak ramah lingkungan. BBM kotor (bensin premium dan solar) menjadi pemicu gagalnya program langit biru dan krisis udara bersih di Indonesia.
Lho, memangnya jenis bensin berpengaruh ke tingkat polusi ya? Ternyata berpengaruh, Pemirsa. Jujur saja aku juga baru tahu setelah ikut webinar ini. Aku kira BBM hanya berpengaruh terhadap ketahanan mesin kendaraan saja. Adakah yang sama dengan aku?
Jadi, polusi udara di Indonesia bukan disebabkan oleh satu faktor saja. Ada penyebab alamiah juga seperti misalnya gunung meletus. Namun, penyebab terbesarnya adalah ulah manusia, berikut beberapa di antaranya:
1. Asap kendaraan bermotor
2. Pembangkit listrik tenaga fosil, seperti batubara
3. Asap pabrik dan industri
4. Pembakaran sampah
5. Kebakaran hutan dan lahan
6. Penebangan hutan liar
BBM Ramah Lingkungan untuk Program Langit Biru
Program Langit Biru sudah digaungkan sejak tahun 1996 oleh kementerian Lingkungan Hidup melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup no. 15 tahun 1996 dan keputusan menteri lingkungan hidup no. 141/2003. Tujuan program langit biru adalah mengantisipasi krisis lingkungan akibat polusi udara yang disebabkan oleh barang tidak bergerak dan atau barang bergerak seperti kendaraan bermotor.
Program langit biru belum berhasil karena beberapa faktor, yaitu pemerintah yang tidak konsisten dan tidak sinergis antar lembaga, penggunaan energi fosil yang masih dominan, serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang dampak buruk penggunaan energi fosil terutama BBM yang tidak ramah lingkungan.
Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah turut terlibat dalam pertemuan Paris Protocol on Climate Change. Di pertemuan tersebut, pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas karbon sebanyak 20-40% hingga 2050. Namun, komiten ini akan sulit tercapai jika kualitas BBM yang tersedia belum memenuhi standar.
Indonesia mempunyai jenis BBM yang beragam. Perbedaan yang paling diperhatikan masyarakat tentulah harganya. Ada harga ada kualitas, begitu juga dengan BBM. Kualitas BBM bisa dilihat dari jumlah oktan/ Research Octane Number (RON). Semakin tinggi nilai oktan, maka semakin berkualitas.
Premium dengan harga yang paling murah mempunyai nilai oktan yang paling rendah, yaitu RON 88. Sedangkan pertalite RON 90, pertamax RON 92, dan pertamax turbo RON 98. Sayangnya, semakin tinggi RON maka harga semakin mahal.
sumber foto: www.pertamina.com |
Untuk mengontrol penggunaan BBM premium, Presiden Joko Widodo membentuk Tim Reformasi Mafia Migas. Salah satu usulannya adalah menghapus BBM premium. Pada 2017 penggunaan premium di Jawa, Bali, dan Madura sudah dikendalikan dengan ketat. Sayangnya, pada tahun 2018 kebijakan tersebut dibatalkan sehingga BBM premium kembali beredar luas.
Dengan harga yang paling murah, tak heran masyarakat banyak yang memilih BBM premium dengan tujuan untuk menghemat. Namun, ternyata penggunaan premium justru sangat merugikan. Niatnya ingin menghemat tetapi malah boros karena jarak tempuh per liternya lebih rendah. Begini contohnya, jika 1 liter BBM premium bisa menempuh 1 kilometer, maka BBM dengan RON lebih tinggi bisa mencapai jarak lebih dari 1 kilometer.
Itu baru dampak dari segi ekonomi. Dibandingkan dengan BBM jenis lain, premium menghasilkan emisi gas buang yang paling tinggi dan berbahaya sehingga mencemari udara. Ini adalah hal lain yang baru aku tahu setelah mengikuti webinar BBM ramah lingkungan untuk Program Langit Biru.
Turut Berpartisipasi dalam Program Langit Biru Mulai dari Langkah Kecil
Nah, untuk mendukung program langit biru ini, kita bisa mulai dengan langkah kecil. Setiap pencapaian yang jauh dimulai dengan langkah kecil, bukan? Kita bisa turut berpartisipiasi dalam program langit biru dengan beberapa perubahan kecil berikut:
1. Beralih dari premium ke BBM dengan nilai RON yang lebih tinggi seperti pertalite dan pertamax.
Di atas sudah aku singgung tentang dampak penggunaan BBM premium bagi lingkungan. Emisi gas buangnya jauh lebih tinggi dibanding pertalite dan pertamax. Sederhananya, asap yang dihasilkan BBM premium lebih berbahaya daripada pertalite atau pertamax. Jika kita beramai-ramai beralih dari premium ke pertalite atau pertamax, maka kita sudah berpartisipasi dalam Program Langit Biru.
2. Hemat BBM
Bagaimana cara menghemat BBM? Jelas dengan tidak mengendarai kendaraan bermotor.
"Eh gimana sih, terus kalau mau pergi naik apa? Terbang?"
Sabar, jangan emosi dulu! Bukan berarti sama sekali tidak boleh naik kendaraan bermotor, tetapi dengan meminimalisir. Misalnya, pilih naik sepeda atau jalan kaki jika tempat tujuannya terjangkau. Intinya, jangan mager!
3. Naik transportasi umum
Bayangkan saja jika banyak masyarakat yang beralih ke transportasi umum, maka jumlah kendaraan di jalan akan sangat berkurang. Dengan begitu kita bisa mengucapkan selamat tinggal kepada macet dan polusi, bukan?
Sayangnya, ketersediaan transportasi umum saat ini belum merata. Di daerahku saja angkot hanya ada di jalan raya utama. Semoga saja ke depannya pemerintah bisa mengadakan transportasi umum yang layak secara merata.
4. Sebarkan pengetahuan kepada masyarakat
Masih banyak yang belum tahu tentang BBM ramah lingkungan. Kebanyakan orang hanya tahu tentang harga yang lebih murah dan performa terhadap kendaraan saja. Aku salah satunya. Beruntung aku bisa mengikuti webinar tentang BBM ramah lingkungan ini sehingga wawasanku tentang BBM bertambah.
Nah, agar pengetahuan ini tidak mengendap begitu saja, kita perlu menyebarkannya kepada masyarakat dan mengajak mereka untuk beralih ke BBM yang ramah lingkungan. Mulai saja dari orang terdekat, misal keluarga kita sendiri.
Untuk mendukung Program Langit Biru, pertamina juga mengambil peran dengan memberikan promo di daerah dan pada waktu tertentu untuk pembelian BBM yang ramah lingkungan. Semoga saja pemerintah bisa segera memberikan subsidi harga BBM ramah lingkungan agar terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Agar bisa terus memandang langit biru dan menghirup udara yang bersih perlu kerja sama semua elemen, bukan hanya pemerintah saja yang bertanggung jawab. Kita sebagai individu juga mempunyai tanggung jawab untuk menjaga bumi kita dari kerusakan. Jadi, yuk mulai menjaga lingkungan walaupun dengan langkah kecil.
0 Comments