Looking For Anything Specific?

ads header

Dampak Positif dan Negatif Anak Bermain Dengan Teman-temannya

anak bermain dengan teman


Anak-anak umumnya merasa senang ketika bermain dengan teman-teman, bahkan mungkin mereka lebih senang daripada bermain dengan orang tua. Ketika bermain bersama teman, rasanya lebih bebas bisa bermain apa saja. Berbeda ketika bermain dengan orang tua, mungkin banyak aturan dan larangannya. Energi orang tua juga terbatas, tidak seperti energi anak-anak yang tidak ada habisnya. Apalagi bagi tipe anak yang kinestetik, maunya bergerak terus, ketika orang tua sudah ngos-ngosan, anak masih sangat energik. Tidak ada habisnya baterai anak-anak ini.

Jika diingat-ingat, akupun waktu kecil dulu juga suka bermain dengan teman yang seusiaku dan anak yang lebih besar beberapa tahun dariku. Aku paling sering bermain bertiga bersama tetanggaku yang juga teman sekelasku waktu SD dan kakaknya yang berusia dua tahun di atas kami. Jika sudah bermain bersama mereka aku sering lupa waktu. Bahkan untuk makan saja harus dipanggil dulu agar mau pulang.

Anak-anak tidak akan kehabisan ide bermain ketika bersama temannya. Main masak-masakan, rumah-rumahan, bersepeda, kejar-kejaran, dan berbagai ide bermain yang tak terduga bisa muncul ketika anak-anak berkumpul. Rasanya main seharian pun masih kurang lama, sehingga sering lupa waktu.

Siapa sangka kini aku mengalami hal itu, menyuruh anak untuk sudah dulu mainnya karena sudah waktunya makan atau sudah sore. Biasanya akan diikuti dengan negosiasi dari Khanza, "Mainnya belum  selesai, sebentar lagi ya, Ummi. Pleeeeeeaaaase." Semakin pintar anak berkomunikasi, maka semakin pintar juga dia menawar waktu mainnya agar diperpanjang.

Padahal, dulu aku pikir Khanza adalah anak yang introvert. Sampai umur 3-4 tahun, Khanza belum berani bermain sendiri bersama teman-teman seusianya. Jika dibandingkan dengan anak teman-temanku, aku kira Khanza yang paling pemalu. Maunya sama umi, begitu juga jika ingin main sama anak-anak lain, pasti umi ditarik untuk "menyodorkan" Khanza agar diajak main bersama. Jika aku menyuruh Khanza berkenalan dengan anak baru, Khanza akan balik memintaku untuk menanyakan nama anak tersebut.

Menjadi orang tua dalam mendampingi tumbuh kembang anak itu ternyata banyak kejutannya, termasuk dalam hal ini. Banyak perubahan anak yang tidak pernah disangka, anak yang dulu sepertinya sangat pemalu kini semakin mudah berteman. Entah kejutan apalagi nanti yang akan kami saksikan.


Kapan Mulai Mengizinkan Anak Bermain Bersama Teman?

egosentris anak

Aku belum menemukan referensi tentang hal ini. Apakah ada batasan umur untuk anak sebaiknya bersosialisasi dengan anak lain? Aku sendiri tidak menentukan batas umur tertentu. Sejak bayi aku mulai mengenalkan Khanza dengan orang-orang sekitar, misalnya ketika aku mengajak Khanza jalan-jalan di sekitar rumah. Beberapa kali aku juga playdate bersama teman-teman yang punya anak seumuran Khanza, sejak Khanza berumur belum satu tahun.

Namun, karena masih kecil jadi mereka masih asik main sendiri-sendiri, kadang saling menatap seakan berkomunikasi, kadang juga berebut mainan. Lucu melihat tingkah anak-anak yang menggemaskan ini. Semakin besar, anak-anak mulai bisa bermain bersama, walaupun pasti ada dramanya yang berujung menangis. 

Aku baca di buku "Fitrah Based Education (FBE)" memang begitu fitrah anak berusia 0-6 tahun, yaitu egosentris. Jadi, tidak semestinya anak berusia 0-6 tahun dipaksa untuk berbagi atau mengalah. Justru orang tua harus merawat dan menguatkan ego anak dengan memuaskan egosentrisnya. Berikut beberapa cara memuaskan egosentris anak dari buku FBE:
  • Memberi supply ego untuk anak dari ayah
  • Memberikan anak ruang dan kesempatan untuk memiliki dan memilih
  • Tidak memaksa anak untuk mengalah atau memberikan miliknya karena akan mencederai egonya
  • Tidak membenturkan dengan adab karena anak belum punya tanggung jawab sosial sampai usia 6 tahun.
Jadi, sepertinya tidak ada batas saklek kapan sebaiknya anak mulai bermain bersama teman-temannya asalkan tidak mencederai fitrah anak.


Dampak Positif Anak Bermain dengan Teman

dampak positif anak bersosialisasi

Mengizinkan anak bermain dengan temannya mempunyai dampak positif dan negatif. Itulah yang aku rasakan sekarang, ketika Khanza mulai suka bermain dengan anak tetangga. Sekarang usia Khanza 5 tahun, dia sering bermain bersama anak lain yang seusianya, juga dengan anak yang lebih besar 2-3 tahun darinya.

Berikut beberapa hal positif yang aku rasakan dengan mengizinkan Khanza bermain bersama teman-temannya dari berbagai usia:

1. Melatih anak untuk bersosialisasi dan saling menolong

Semenjak Khanza berbaur bersama teman-temannya, dia menjadi  lebih supel dan lebih mudah bergaul. Sebenarnya hal ini sudah aku rasakan sebelumnya, Khanza lebih mudah berteman dengan orang baru. Pernah suatu kali aku bawa Khanza ke tempat kerjaku di klinik. Beberapa kali ada pasien yang membawa anaknya ketika periksa. Jadi, ketika aku memeriksa pasien, Khanza mengajak anak pasien berkenalan dan bermain bersama.

Setelah Khanza berani bermain dan mengunjungi rumah tetangga sendiri, dia jadi lebih supel dan lebih mudah bersosialisasi. Dengan tetangga yang lebih tua pun jadi berani menyapa, padahal dulu Khanza sangat pemalu.

Selain itu, anak-anak juga belajar untuk menolong temannya ketika kesusahan. Misalnya ketika temannya jatuh, anak berusaha untuk menolong sebisanya atau ketika ada yang kesusahan membawa sesuatu, lalu anak membantu membawakannya. Dari hal-hal sederhana seperti itu, anak belajar untuk saling tolong-menolong.

2. Meningkatkan rasa percaya diri anak

Bermain bersama banyak teman dengan berbagai usia membuat anak lebih percaya diri. Agar dapat bersosialisasi, mengungkapkan ide atau pendapat tentu membutuhkan keberanian dan rasa percaya diri. Dengan begitu, anak akan belajar untuk lebih percaya diri.

Anak-anak sering mempunyai banyak ide ketika bermain berdasarkan imajinasi mereka. Misalnya ketika bermain rumah-rumahan, ada yang menjadi bunda, ayah, kakak, dan adik. Mereka akan mengungkapkan ide dan peran yang mereka ingin perankan. Untuk tampil di depan teman-teman pun butuh rasa percaya diri.

3. Meningkatkan motivasi anak untuk belajar hal baru

Melihat teman-temannya sudah bisa banyak hal bisa memotivasi anak untuk mempelajarinya juga. Yang aku lihat dari Khanza, dia jadi lebih berani untuk mencoba hal baru seperti bermain hujan, main becek-becekan, dan belajar naik sepeda.

Teman-teman seumuran Khanza di sini sudah pada bisa naik sepeda, sedangkan Khanza masih memakai sepeda yang ada roda bantunya. Sebenarnya sudah dari dulu aku dan suami memotivasi Khanza untuk belajar naik sepeda roda dua, tapi Khanza bilang takut jatuh.

Entah dapat wangsit dari mana, tiba-tiba Khanza semangat untuk belajar naik sepeda roda dua. Jadilah abi melepas roda bantunya. Untungnya teman-teman Khanza yang lebih besar juga mau mengajari Khanza, jadi bukan hanya aku dan suami yang mengajari. Mungkin dari situ muncul semangat Khanza. Melihat teman-temannya yang sudah bisa bersepeda dengan berbagai macam gaya dan teman-temannya yang menyemangatinya untuk belajar naik sepeda. Di hari ketiga belajar, akhirnya Khanza bisa sendiri naik sepeda roda dua, yeay alhamdulillah.

4. Melatih anak memecahkan masalah dengan teman

Bukan hanya orang dewasa yang mempunyai masalah, ternyata anak-anak juga. Namun, anak-anak lebih mudah memaafkan dan melupakan masalah. Beberapa kali saya melihat cekcok di antara anak-anak itu, entah berebut mainan, berebut peran, atau masalah lainnya. Khanza pun beberapa kali melapor tentang temannya yang membuatnya kesal dan berkata, "Aku nggak mau lagi main sama dia."

Setelah mendengar cerita Khanza tentang permasalahan anak-anak, biasanya aku meminta Khanza untuk saling maaf-maafan dengan temannya. Setelah itu, apa yang terjadi? Mereka bermain lagi seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya, tidak ada dendam walaupun sebelumnya sempat berkata tidak mau main lagi dengannya.

Namun, tidak semua percekcokan antar anak-anak dilaporkan Khanza kepadaku. Beberapa kali aku mendengar mereka menyelesaikan sendiri permasalahan mereka. Akupun tidak mau terlalu ikut campur dengan "masalah" anak-anak tersebut selama tidak membahayakan. Dengan begitu, mereka akan belajar sendiri bagaimana mencari jalan keluar atas permasalahan mereka. Ya, selain nggak mau dicap sebagai emak-emak rempong sih wkwk.

Kemampuan memecahkan masalah ini akan sangat berguna ketika anak dewasa kelak. Menghadapi kehidupan sekolah, kerja, dan kehidupan bermasyarakat pasti seperti roller coaster, tidak selalu lurus dan baik-baik saja.

5. Melatih anak bekerja sama

Ketika bermain bersama, tentunya butuh kerja sama agar permainan bisa berjalan dengan baik. Secara alami akan ada anak yang mengomando serta memberikan berbagai ide dan ada yang mengikuti. Jadi anak belajar memimpin dan dipimpin. Misalnya ketika bermain peran, ada yang memberikan ide si A jadi apa, si B jadi apa, lalu lain waktu gantian anak lain memberikan ide dan komando. Jika tidak mau atau tidak setuju, anak akan belajar menyampaikan pendapatnya yang lain dan mereka berusahan mencari jalan tengahnya. Walaupun kadang berujung ada yang ngambek lol.

Begitu juga ketika harus membawa dan membereskan mainan, anak-anak belajar bekerja sama. Karena aku menerapkan peraturan "harus membereskan mainan jika main di rumah. Kalau tidak dibereskan tidak boleh main di rumah lagi!" maka mau tak mau mereka sama-sama membereskan mainan yang mereka serakkan. Mungkin di mata anak-anak aku terkesan galak, tapi daripada aku lelah sendiri dan berujung ngomel-ngomel wkwk.

Karena itu, setiap selesai bermain mereka akan saling mengingatkan "Ooooii, susun dulu mainannya. Jangan berserak nanti kenak marah." Aku yang mendengar teriakan salah satu anak tersebut hanya bisa nyengir sambil berkata dalam hati,"Aduh, mana pernah sih aku marah-marah? paling merepet alias ngomel aja kok" wkwk.

Sebenarnya urusan membereskan mainan ini aku sudah ajarkan kepada Khanza sejak dulu. Walaupun tidak semua Khanza bereskan sendiri, setidaknya Khanza ikut terlibat ketika membereskan mainan. Jadi ya, aku mau menerapkan hal itu juga ke teman-temannya jika main ke rumah.

Kemampuan ini juga sangat diperlukan kelak ketika anak semakin dewasa, entah ketika sekolah, bekerja, atau dalam kehidupannya sehari-hari. Anak perlu berlatih bagaimana memimpin dan dipimpin serta bagaimana bekerja sama dengan orang lain dalam mencapai suatu tujuan.


Dampak Negatif Anak Bermain dengan Temannya

dampak negatif anak berteman

Ternyata ada juga dampak negatif ketika anak mulai bermain dan bersosialisasi bersama teman-temannya. Dulu, ketika aku masih anak-anak dan suka bermain, seingatku paling aku kena marah jika main sampai lupa waktu. Sekarang, setelah menjadi emak-emak, aku merasakan sendiri pusingnya ketika Khanza pulang dari main bersama teman membawa sesuatu yang membuat aku dan suami terkejut. Bukan terkejut yang wow hebat, tapi sesuatu yang tidak kami sukai dan tidak sesuai dengan prinsip keluarga kami.

Berikut beberapa hal negatif ketika anak bersosialisasi dengan teman-temannya:

1. Anak mendapat pengaruh buruk dari teman

Ketika sedang bersama temannya, orang tua tidak sepenuhnya bisa mengontrol apa yang mereka lakukan. Apalagi jika anak sudah bersekolah atau bisa pergi sendiri bersama teman-temannya. Oleh karena itu, orang tua tidak tahu apa yang mereka lakukan dan bicarakan.

Sekarang, yang paling sering adalah Khanza sangat percaya dengan kata-kata temannya. misalnya temannya bercerita tentang hantu. Beberapa kali Khanza ketakutan saat di rumah, ternyata takut hantu. Dengan begitu, aku harus menyaring apa saja yang merasuki pikiran Khanza dan membuang pengaruh-pengaruh negatif dari temannya.

Di sinilah kedekatan orang tua dengan anak juga diperlukan. Ketika ada tingkah anak yang aneh orang tua akan langsung tahu dan mencari penyebabnya. Biasanya aku mengajak Khanza cerita tentang aktivitasnya bersama teman, bermain apa saja dan ada kejadian apa. Sebisa mungkin bukan dengan nada menginterogasi, karena justru membuat anak tidak nyaman dan malah menutup-nutupi kejadian sebenarnya.


2. Cara bicara dan sikap berubah

Karena keluargaku adalah pendatang di sini, maka otomatis ada perbedaan budaya dan cara berbicara. Di sini kebanyakan anak berbicara dengan suara yang lantang dan memanggil dengan sebutan "kau". Setelah bersosialisasi dengan teman-temannya tersebut, cara berbicara Khanza juga ada yang berubah. Aku dan suami memakluminya selama bukan bicara kasar atau tidak sopan. 

Namun, pernah Khanza ketika maraha mengeluarkan kata-kata "Apa kau?" kepadaku dan suami. Di situlah kami mulai merasa ada yang salah. Lagi-lagi kami harus memperbaiki pengaruh "pergaulan". Ini teman main Khanza baru beberapa, belum sebanyak jika mulai bersekolah. Bagaimana nanti ketika lingkaran pertemanannya sudah lebih luas?

Dulu aku pernah ikut workshop tentang "fitrah based education" bersama ustadz harry Santoso. Seingatku, beliau menjelaskan,jika pondasi keluarga sudah kokoh, maka insya Allah anak tidak akan mudah terpengaruh dengan lingkungan. Oleh karena itu, orang tua perlu menanamkan prinsip keluarga kepada anak. Jika anak sudah memahami prinsip tersebut dan sudah tertanam dalam jiwa, maka ketika anak semakin besar dia bisa menyaring sendiri mana yang boleh dan tidak.


3. Peraturan dan prinsip keluarga yang berbeda membuat anak bingung

Setiap keluarga pasti mempunyai prinsip dan peraturannya masing-masing. Misalnya di keluargaku, aku mengajarkan Khanza untuk tidak sembarangan masuk ke kamar, dapur, membuka lemari, atau kulkas ketika berkunjung ke rumah teman. Jika meminjam mainan maka harus dibereskan.

Namun, aku tidak tahu apakah keluarga teman Khanza juga memberikan aturan tersebut atau tidak. Beberapa kali ketika teman-teman Khanza main ke rumah, mereka tidak segan masuk ke dapur, membuka kulkas atau melongok-longok ke dalam kamar. Akupun menjelaskan kepada teman Khanza tersebut untuk tidak masuk-masuk ke kamar atau dapur, cukup bermain di ruang tamu atau teras saja. 

Khanza juga pernah berkata bahwa di rumah temannya dia bebas masuk mana pun. Di situ kami harus menjelaskan bahwa bisa saja keluarga temannya mempunyai aturan yang berbeda. Termasuk dengan jam bermain. Sebelum mengizinkan Khanza bermain, kami membuat kesepakatan dulu berapa lama mainnya dan kapan harus pulang. Namun, karena teman-temannya bebas bermain seharian, Khanza pun jadi sering merengek.

Pertanyaan "kenapa" pun sering muncul. "Dia aja boleh, kenapa aku nggak?" Yah, karena anak-anak memang begitu, harus ada alasan kenapa mereka harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Orang tua pun harus memutar otak untuk menjelaskan kepada anak agar dia mengerti dan tidak muncul kenapa yang lainnya.

Mengizinkan anak untuk bersosialisasi dengan teman-temannya mempunyai dampak positif dan negatif. Jadi perlu memilih lingkungan dan sekolah yang terbaik untuk pergaulan anak. Semoga anak-anak kita terhindar dari pertemanan yang salah ya. Kalau ayah dan bunda yang membaca ini termasuk yang mana? Mengizinkan atau tidak? Serta bagaimana menghadapi pengaruh buruk teman-teman anak?

Post a Comment

0 Comments