Topik tentang mental health sepertinya sedang hits dibicarakan, termasuk tentang self love. Sepertinya semakin canggih teknologi, justru semakin sulit untuk menjaga kewarasan diri. Sehingga banyak kelas belajar "self love" yang bertebaran, baik yang gratis maupun berbayar. Memangnya ada apa dengan self love? Apakah sulit untuk mencintai diri sendiri? Kalau dipikir-pikir, sepertinya tidak mungkin seseorang tidak mencintai dirinya sendiri kan?
Nyatanya memang begitu, secara sadar atau tidak banyak orang yang lebih menghighlight kekurangan atau keburukan dirinya sendiri daripada kelebihannya. Coba deh, kalau diminta untuk menuliskan kekurangan dan kelebihanmu, mana yang lebih mudah kamu tuliskan?
Pertanyaan tersebut juga ditanyakan ketika aku belajar self love bersama psikolog di webinar yang diadakan oleh arsanara. Pematerinya adalah seorang psikolog klinis anak dan remaja serta seorang kandidat psikolog klinis dewasa. Aku akan menuliskan rangkumannya di sini.
Mendengar pertanyaan tersebut aku langsung menjawab "kekurangan". Yup, sepertinya lebih mudah bagiku untuk menuliskan semua kekuranganku daripada kelebihanku. Ternyata kebanyakan peserta juga menjawab kekurangan.
Kekurangan diri lebih mudah terasa ketika kita membandingkan diri dengan orang lain. Pernahkah kamu melihat hidup orang lain sepertinya bahagia, mulus tanpa masalah, dan lancar-lancar saja seperti jalan tol, sementara hidup sendiri sepertinya dipenuhi masalah dan merasa tidak bahagia?
Apalagi zaman sekarang, hanya dengan membuka instagram saja kita sudah bisa membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Padahal apa yang orang tampilkan di media sosial tidak merepresentasikan seluruh hidupnya kan? Kebanyakan hanya menampilkan bagian indahnya saja, kita tidak tahu bagaimana di baliknya.
Kalau kata stand up comedian Dodit, orang pasti akan post foto instagram dengan foto yang instagramable bertuliskan "At restoran fancy, dinner." Tidak mungkin ngepost foto di instagram dengan foto marut kambil, ngonceki brambang, ngosek WC, atau ngganti popok anak yang lagi tantrum wkwk. Jadi, tidak perlu membandingkan diri. Membandingkan diri bisa menjadi jalan ninja menuju ketidakbahagiaan dan rasa insecure.
"Hidup itu sawang sinawang. Yang enak buat kita, belum tentu enak buat orang lain. Yang tidak enak buat kita juga belum tentu tidak enak buat orang lain" -Ibu Septi.
Aku sendiri lebih sering merasa insecure setelah menikah, punya anak, dan menjalani peran sebagai ibu rumah tangga. Ketika melihat pencapaian teman-teman seangkatan yang sudah meroket, banyak yang sudah sekolah menjadi spesialis, S2, kerja di berbagai instansi, sementara aku begini-begini saja. Waktu itu aku sampai menutup media sosial terutama instagram karena merasa rendah diri.
Hingga akhirnya aku sadar diri bahwa aku mencemaskan hal yang tidak semestinya. Memangnya kenapa kalau jalanku berbeda dari mereka? Kan tujuan dan prioritas setiap orang berbeda-beda. Kalaupun tujuannya sama, bisa jadi waktu dan jalannya yang berbeda. Seribu jalan menuju Roma, begitu pepatah bilang.
Tanda Insecure dan Kurang Self Love
Di pembukaan webinar, terpampang beberapa pertanyaan yang merupakan tanda-tanda insecurity. Apakah kamu pernah mengalami beberapa perasaan di bawah?
- Merasa diri sendiri tidak cukup baik dalam segala peran. Misalnya tidak cukup baik sebagai ibu karena anak susah makan dan belum bisa ini itu seperti anak lain, tidak cukup baik sebagai anak karena belum bisa membanggakan orang tua dengan menjadi juara kelas, atau merasa tidak cantik karena ada jerawat di wajah.
- Merasa tidak senang ketika orang lain bahagia. Misalnya ketika seorang teman mendapat nilai A sedangkan kita B+, atau tidak senang ketika anak tetangga menjadi juara kelas sedangkan anak sendiri mendapat tidak mendapat ranking.
- Meragukan dan mempertanyakan diri sendiri, "Apakah ada yang salah denganku?"
- Menolak untuk bahagia. Misalnya ketika ada kabar bahagia lalu langsung berpikir "pasti setelah ini ada masalah atau kabar buruk deh."
- Terlalu mengkhawatirkan hidup dan mencemaskan hal-hal yang tidak pasti. Biasanya dengan bertanya-tanya "Bagaimana jika". Bagaimana jika nanti aku gagal, dan semacamnya.
- Merasa diri sendiri adalah sebuah kegagalan.
- Terlalu sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
- Kehilangan harapan.
Beberapa hal di atas adalah tanda-tanda insecurity. Insecurity adalah perasaan tidak aman terhadap diri sendiri, perasaan terserang atau terancam, dan mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti secara berlebihan.
Sebenarnya dalam takaran yang wajar kita membutuhkan rasa cemas dan khawatir. Bayangkan saja jika kita tidak memiliki rasa cemas, maka kita akan melalui hidup dengan super santuy.
"Besok ujian nih. Aah cuek aja nilai ujian nggak dibawa mati."
"Anak udah seminggu nggak mau makan. Ahh itu biasa, nanti kalau lapar juga minta makan."
"Covid kok nggak ilang-ilang? Alah, covid nggak bahaya kok, biasa aja." Lalu kaluar rumah, ke tempat ramai mengabaikan protokol kesehatan.
Mungkin akan seperti cerita di atas jika hidup tanpa rasa cemas dan khawatir. Kita cenderung lalai, tidak peduli, dan cuek terhadap apa yang terjadi. Oleh karena itu, kita tetap membutuhkan rasa cemas dalam takaran yang wajar.
Rasa cemas bisa menjadi seperti alarm atau sinyal agar kita lebih waspada terhadap ancaman atau bahaya, membuat kita mempersiapkan diri dengan lebih baik, dan membuat kita terus berusaha untuk mengembangkan diri.
Namun, rasa cemas yang berlebihan justru akan mengganggu karena membuat kita tidak berani mencoba hal baru, membuat kita merasa tidak bahagia, serta mengganggu fokus dan produktivitas.
Oleh karena itu, kita perlu menerima kondisi diri sendiri dengan self love agar tidak merasa insecure.
Tentang Self Love
Self love adalah penerimaan terhadap diri sendiri dengan memberikan ruang yang nyaman dan aman terhadap kondisi diri. Dengan self love, kita akan memperlakukan diri sendiri seperti kita memperlakukan orang yang kita cintai.
Namun, tentunya self love berbeda dengan narsis atau kepedean ya. Dengan self love, kita bisa menyadari kelemahan dan kekuatan diri kita, memutuskan kelemahan yang bisa dan ingin diubah, serta bisa menghargai orang lain.
Sedangkan narsis atau overproud adalah menganggap diri sendiri adalah yang paling sempurna, menganggap bahwa semua kekurangan adalah bawaan yang tidak bisa diubah, serta merasa diri sendiri lebih hebat dan lebih tinggi dari orang lain.
Jadi, secara sederhananya self love adalah menerima kondisi diri sendiri tapi bukan berarti pasrah, melainkan berusaha memperbaiki apa yang bisa dan ingin diperbaiki dan mengapresiasi setiap pencapaian diri. Tidak harus pencapaian yang besar, hal-hal kecil pun perlu kita apresiasi.
Kenapa kita perlu belajar mencintai diri sendiri? Ternyata ada banyak manfaat self love lho. Dengan mencintai diri sendiri bisa menjadi bentuk prasangka baik kepada sang pencipta, meningkatkan rasa percaya diri, tidak takut mencoba tantangan baru, dan lebih tahan banting menghadapi masalah atau challenge dalam hidup.
Self Love: treat yourself like how would you treat your loved ones.
Hal yang perlu dihindari untuk menumbuhkan self love
Ada beberapa hal yang membuat seseorang sulit untuk mencintai dirinya sendiri. Pikiran-pikiran ini harus dihilangkan terlebih dahulu untuk menumbuhkan self love. Berikut beberapa pola pikir yang perlu dihindari:
1. All or none thinking
Cara berpikir ini adalah cara berpikir yang ekstrim. Pola pikir ini hanya berpikir bahwa dunia ini hanya terbagi menjadi dua hal seperti hitam dan putih, baik dan buruk, sukses atau gagal dan semacamnya. Padahal, di antara hitam dan putih masih terdapat abu-abu. Pola pikir seperti ini sangat mudah membuat kita membenci diri sendiri. Misalnya kita membuat sedikit kesalahan lalu langsung berpikir bahwa kita gagal.
"Duh, masakanku nggak enak nih. aku emang gak bisa masak." Padahal kemarin dan kemarinnya lagi masakannya enak, suami dan anaknya suka bahkan makan dengan sangat lahap. Namun, karena all or none thinking, keberhasilan yang sudah dicapai seperti tidak ada artinya.
2. Over generalisasi
Hidup memang tidak sempurna, kadang kita merasa buruk. Namun, dengan satu keburukan bukan berarti semua buruk, jika berpikir begitu maka disebut overgeneralisasi. Misalnya ketika gagal membangun hubungan dengan seorang laki-laki, kemudian langsung berpikir bahwa semua laki-laki sama saja sehingga tidak mau lagi menjalin hubungan dengan siapapun. Padahal, bisa saja setelah itu bertemu dengan laki-laki baik lalu hidup bahagia bukan?
3. Menargetkan sesuatu dan harus tercapai (should!)
Membuat resolusi dan terget dalam hidup adalah hal yang baik. Namun, jika terlalu tinggi menentukan target dan terlalu perfeksionis justru akan membuat kita terbebani. Misalnya menargetkan berat badan sekian dalam waktu satu bulan. Lalu jika gagal maka merasa dirinya sangat buruk. Jadi, alangkah baiknya ketika menentukan target disesuaikan dengan kemampuan dan realita. Kalaupun belum berhasil, bisa dicoba lagi lain kali.
4. Tidak memperhitungkan hal yang positif
Pola pikir ini mirip dengan "all or none thinking". Ketika ada hal positif dan negatif yang terjadi, tetapi hanya fokus pada yang negatif dan mengabaikan hal yang positif. Misalnya ketika seseorang tampil cantik di suatu acara lalu ada yang memuji, "Wah, kamu cantik banget." Perempuan zaman now pasti akan menjawab "Ah, kamu lebih cantik." Jika orang yang dipuji tersebut menafikan hal yang positif, maka mungkin jawabannya, "Nggak kok, ini karena make up aja, aslinya kulitku hitam dan banyak jerawatnya." Mungkin ya itu, bisa jadi pikiran negatif lainnya yang muncul.
Terlalu sering berpikir negatif bisa membuat diri merasa "nggak ada bagus-bagusnya". Lelah nggak sih berpikir begitu?
5. Magnification & minimization
Magnification adalah membesar-besarkan, sedangkan minimization sebaliknya, yaitu mengecil-ngecilkan (?) Tentu saja yang dibesar-besarkan adalah hal yang buruk dan yang diminimize adalah hal yang positif. Dengan begitu, yang terlihat hanya buruknya saja. Sepertinya ini mirip-mirip dengan poin ke empat ya.
6. Personalization
Personalization atau personalisasi adalah menyalahkan diri sendiri atas suatu kesalahan, "Pokoknya semua adalah salahku." Misalnya ketika orang tua bertengkar hingga berakibat perpisahan, lalu sang anak berpikir bahwa semua kekacauan itu adalah salahnya, pertengkaran orang tuanya adalah salah anak tersebut. Padahal bisa jadi penyebab orang tuanya bertengkar adalah masalah lain. Orang tipe ini akan merasa bertanggung jawab atas semua kesalahan, kekalahan, atau kegagalan. Pasti lelah sekali hidup orang tipe ini.
Jika ingin mulai mencintai diri sendiri, maka mulai dari pola pikir. Jika masih ada pola pikir di atas, maka perlu berusaha untuk mengubahnya dulu. Mulai saja pelan-pelan.
"Kamu hanya sedang tidak berhasil, bukan berarti kamu bodoh. Kamu hanya sedang tidak berhasil, bukan berarti kamu orang yang gagal. Kamu hanya sedang tidak berhasil, bukan berarti kamu akan selalu dalam kondisi begini." -dr. Jiemi Ardian SpKJ.
Mengenali Diri untuk Menumbuhkan Self Love
Nah, setelah mengetahui apa itu self love dan apa yang perlu diubah untuk menumbuhkan rasa cinta pada diri sendiri, kini saatnya belajar self love. Tak kenal maka tak sayang, begitu kata pepatah. Maka, untuk menyayangi dan mencintai diri, juga perlu untuk lebih dulu mengenali diri sendiri. Coba lihat dalam diri sendiri, apakah kamu sudah cukup mengenali diri sendiri?
"Apa yang paling penting menurutku?"
"Apa tujuan dan prioritas dalam hidupku?"
"Apa hal yang membuatku bahagia?"
"Apa yang aku bisa dan tidak bisa? Serta apa yang bisa dan ingin kuperbaiki?"
Jika sudah mengenali diri sendiri, maka kita tidak akan merasa insecure lagi ketika melihat orang lain. Kita bisa menentukan langkah dan tujuan hidup sendiri tanpa terpengaruh oleh orang lain.
Dalam mengenali diri sendiri, aku membuat sebuah peta hidup yang berisi tujuan hidupku, hal-hal apa yang ingin aku pelajari, dan bagaimana langkahnya. Dalam hal ini aku sangat berterima kasih kepada kelas bunda cekatan Institut Ibu Profesional, karena di kelas ini aku benar-benar menyusun peta hidup. Dimulai dengan proses mengenali diri sendiri dari mencari hal-hal yang disukai dan tidak disukai, kemudian mengerucutkan potensi yang dimiliki menjadi sebuah kekuatan.
Dengan peta ini aku tahu bahwa prioritas dan tujuanku bisa berbeda dengan orang lain. Jalanku pun mungkin akan berbelok menjauh dari teman-temanku. Namun, dengan memegang peta, insya Allah aku tidak akan tersesat. Jalan orang lain mungkin lebih mulus, indah dan menarik, tetapi belum tentu cocok dengan kondisiku.
Selain itu, kita juga perlu menjadi pengamat untuk diri sendiri. Ketika melakukan suatu perjalanan jarak jauh, mungkin kita akan melewati kemacetan, perjalanan yang terasa membosankan, kendaraan kita mogok atau bertemu pengendara lain yang menggangggu. Hal tersebut akan memunculkan perasaan tidak nyaman seperti bosan, marah, sedih, kecewa, dan lainnya.
Begitu juga dengan perjalanan hidup, kita akan merasakan berbagai macam emosi termasuk perasaan yang tidak nyaman. Ketika pikiran negatif dan perasaan tidak nyaman tersebbut muncul, cukup amati dan terima saja.
"Aku sedang merasa khawatir. It's ok."
"Aku mulai insecure dengan diri sendiri. Saatnya kurangi media sosial."
"Warna kulitku memang begini, tak masalah."
Tidak perlu membandingkan jalan hidup dan kondisi diri dengan orang lain. Jika ingin membandingkan, coba bandingkan pencapaian diri dengan yang dulu.
Jangan mengukur sepatu orang lain dengan kaki kita
Cara mencintai diri sendiri
Mencintai diri sendiri dimulai dengan mempedulikan diri sendiri, yaitu dengan self care. Ada beberapa jenis self care yang bisa dilakukan, yaitu:
1. Emosional
Emotional self care berhubungan dengan mengendalikan emosi kita. Oleh karena itu kita perlu mengenali setiap emosi pada diri sendiri dan pemicunya. Jika sedih dan insecure terjadi ketika membuka media sosial, maka batasi dan kurangi waktu scrolling media sosial. Jika ada orang yang selalu membuat emosi, maka jauhi orang tersebut. Biasanya yang seperti itu adalah orang-orang yang toxic.
Apa saja tanda orang toxic? Yaitu orang yang selalu membicarakan kekuranganmu, yang tidak percaya dengan kemampuanmu, yang suka ghibahin kamu, yang suka membully, orang yang suka memaksamu melakukan hal yang tidak kamu inginkan atau memaksamu menjadi seperti mereka. Jika bertemu orang seperti itu, lebih baik jauhi dan kurangi interaksi dengan mereka. Jangan dengarkan apalagi memasukkan ke hati komentar orang yang toxic.
Jika yang toxic adalah orang terdekat atau bahkan orang tua sendiri, maka jika bisa ajaklah bicara baik-baik. Tanyakan mengapa mereka seperti itu dan katakan bahwa kita tidak suka diperlalukan seperti itu. Namun, jika orang tersebut terlalu kolot dan tidak bisa diajak berdiskusi, maka batasi interaksi dengan mereka. Buatlah batasan diri kita dengan mereka. Kita perlu membuat benteng diri dari serangan racun orang lain.
Kita perlu sadar bahwa di dunia ini tidak semua hal bisa kita kontrol. Kita hanya bisa mengubah hal-hal yang bisa kita kontrol. Jadi untuk hal yang tidak bisa kita ubah, kita harus belajar untuk menerima atau jika bisa dijauhi maka jauhilah.
2. Sosial
Social self care adalah dengan bersosialisasi dengan orang lain, tentu saja orang yang membuat nyaman misalnya teman dekat atau sahabat. Dengan mempunyai teman dekat kita bisa berbagi suka dan duka, serta mempunyai pendengar untuk kita.
Aku sendiri karena termasuk introvert, tidak banyak teman dekatku. Sepertinya semakin dewasa, apalagi setelah menikah dan punya anak, lingkaran pertemananku semakin mengecil. Hanya orang-orang terdekat saja yang masih keep in touch hingga sekarang, teman yang menemaniku membuat peta hidup serta mau mendengarkanku sambat.
3. Fisik
Makan bergizi, tidur dan istirahat yang cukup, serta olahraga adalah bentuk physical self care. Klise bukan? Namun, memang begitu kenyataannya. Kurang tidur dan kelelahan akan membuat mood berantakan karena hormon stres meningkat. Sedangkan olahraga bisa memicu produksi hormon endorfin, yaitu hormon yang membuat bahagia.
Namun, untuk orang-orang yang kurang suka olahraga seperti aku, maka sepertinya perlu memilih jenis olahraga yang menyenangkan. Aku sih sukanya jalan-jalan sambil cuci mata, tapi semenjak pandemi ini aku lebih sering mengurung diri di rumah. Gimana dong?
4. Spiritual
Spiritual self care adalah dengan meyakini bahwa ada kekuatan yang besar yang mengatur hidup. Kalau dalam agama yang aku anut, Allah yang mengatur kehidupan. Jadi spiritual self care dilakukan dengan mendekatkan diri kepada Allah misalnya dengan lebih banyak berdoa dan beribadah.
Selain dengan beberapa cara self care tersebut, self love juga perlu ditumbuhkan dengan mengubah cara pandang kita, yaitu dengan growth mindset bukan fixed mindset. Orang dengan fixed mindset meyakini bahwa kemampuan, kekuatan, dan potensi dirinya semata-mata adalah pemberian atau bawaan sehingga tidak bisa diubah.
growth mindset vs fixed minset. pic by www.jdmindcoach.com |
Sedangkan growth mindset memahami bahwa tantangan, masalah, dan pengalaman hidup bisa membantu untuk terus bertumbuh. Dengan begitu, jika mendapat suatu tantangan atau cobaan tidak akan langsung down, tetapi terus berusaha untuk menjadikannya sebagai pembelajaran.
Positive Self-Talk
Ketika ada orang terdekat yang sedang mengalami kesedihan apa yang kamu lakukan? Pasti sebisa mungkin kamu berusaha menghibur atau membantunya bukan? Lalu, bagaimana ketika diri sendiri yang mengalami suatu kejadian yang membuat sedih, marah atau kecewa? Apakah juga memotivasi diri sendiri atau justru langsung menyalahkan diri?
Positive self-talk adalah cara untuk memotivasi diri sendiri. Bisa dengan berdiri di depan cermin lalu mengucapkan kata-kata untuk menguatkan diri.
Bicaralah pada diri sendiri seperti kita berbicara atau memotivasi orang lain.
"Lagi jerawatan, tapi nggak apa-apa."
"Ternyata seperti ini wajahku ketika lagi sedih, tapi it's ok aku akan bisa melewati hal ini."
"Sekarang aku belum berhasil, besok aku coba lagi dengan cara lain."
Memotivasi diri sendiri juga bisa dilakukan dengan belajar bersyukur. Karena itu, membuat jurnal syukur mungkin bisa membuat kita lebih bahagia atas diri kita dan apa yang kita lalui. Apa yang disyukuri hari ini, apa hal baik yang sudah dilakukan, serta apakah ada hal baru yang dipelajari bisa kita catat sebagai jurnal syukur.
"Salah satu cara untuk bertumbuh adalah: lakukan pada diri sendiri apa saran yang kita berikan pada orang lain. Karena seringkali kita sudah tahu, tapi enggan melakukan apa yang kita tahu. Pertumbuhan memerlukan perjuangan. Yuk mulai dari saran sendiri untuk diri sendiri." -dr. Jiemi Ardian SpKJ.
6 Comments
Halo mbak, salam kenal yaa.
ReplyDeleteMakasih atas tulisan yg sangat bermanfaat ini yaa ☺️
Salam kenal juga mbak. Wah, sama2 mbak, makasih juga sudah mau mampir :)
DeleteMba wiwit makasih ya sharing materinya.. Bermanfaat sekali ^^
ReplyDeleteSama-sama mba rani :)
DeleteMakasih mbak, atas tulisannya.. sangat bermanfaat...
ReplyDeleteTulisannya sangat menarik dan bermanfaat. Terimakasih
ReplyDelete