"Membuka rumah baca di sini butuh perjuangan ekstra. Minat bacanya rendah." Begitu kurang lebih bunyi status whatsapp salah satu kenalan saya yang sekarang tinggal di salah satu kabupaten di Kepulauan Riau. Saya pun tergelitik ingin tahu lebih dalam, saya ketik pesan melalui aplikasi pesan tersebut untuk menanyakan kondisi literasi di sana.
"Kalau dari pengamatan saya mbak, buka rumah baca udah lebih dari setengah tahun ini memang rendah minat bacanya. Anak lebih tertarik gadget atau main-main aja gitu," begitu jawab teman saya yang sering dipanggil Mbak Nana ini.
"Kalau dibuat event baru mereka mau, itu pun mesti dipanggil, dijemput gitu. Nggak ada inisiatif untuk datang sendiri padahal sudah dikasih tahu. Bahkan kadang saya sengaja kasih tahu orang tuanya agar anak-anak ke rumah, ada acara gitu. Tetap aja susah. Orang tuanya pengen anaknya bisa baca tapi minim usaha," begitu beliau melanjutkan ceritanya.
Apa yang dikeluhkan oleh kenalan saya tersebut bisa jadi adalah cerminan kondisi literasi di negara kita. Minat baca yang rendah ditambah dengan akses terhadap buku yang masih belum merata, membuat tingkat literasi amat kurang.
"Buku adalah jendela dunia", tentu kita tidak asing dengan ungkapan tersebut. Saya pun sepakat dengan pepatah lama itu. Kita tak perlu berkeliling dunia untuk mengetahui apa isinya, cukup dengan membaca buku. Bahkan, kita bisa mengetahui berapa dalamnya samudera, apa isi perut bumi, dan benda apa saja yang melayang di angkasa hanya dengan membaca buku. Berjuta-juta pengetahuan bisa kita dapatkan melalui buku.
Sayangnya, tidak semua anak mempunyai akses ke jendela dunia. Masih banyak generasi penerus bangsa yang bagai hidup di dalam tempurung. Jangankan untuk membeli buku bacaan berkualitas, pergi ke sekolah saja masih ada yang harus menyeberangi sungai menggunakan alat seadanya, mempertaruhkan nyawa.
Perpustakaan yang menjadi harapan para siswa untuk mengakses buku bacaan pun belum dimaksimalkan eksitensinya. Bahkan, tak semua sekolah dan daerah mempunyai perpustakaan, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Rendahnya tingkat literasi anak bangsa tersebut menjadi salah satu penyebab skor PISA Indonesia jauh di bawah rata-rata dan menduduki peringkat 10 terbawah secara global.
Rendahnya Skor PISA Indonesia
Setiap tiga tahun sekali, kompetensi siswa Indonesia diukur di tingkat global melalui Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Tiga indikator utama yang dinilai melalui PISA adalah kemampuan literasi, matematika, dan sains. Siswa yang menjadi sampel survei adalah siswa sekolah menengah yang berusia 15 tahun.
Survei PISA menjadi salah satu tolok ukur pemerintah dalam menyelenggarakan kebijakan pendidikan dan mengevaluasi kesiapan generasi muda dalam menghadapi perkembangan zaman. Indonesia berpartisi dalam PISA sejak 2000. Hasil survei pertama Indonesia berada di peringkat ke-39 dari 41 negara. Sejak pertama kali menjadi partisipan hingga survei terakhir tahun 2018, Indonesia konsisten berada di peringkat 10 terbawah dan skornya selalu jauh di bawah rata-rata.
Hasil evaluasi PISA tahun 2018, Indonesia mengalami penurunan dari evaluasi sebelumnya. Tahun 2015 Indonesia menduduki peringkat 64, tetapi tahun 2018 justru turun menjadi peringkat 74 dari 79 negara. Miris!
Di bidang literasi, skor Indonesia adalah 371, sedangkan skor rata-ratanya adalah 487. Di bidang matematika, Indonesia mendapat skor 379, di bawah skor rata-rata 489. Di bidang sains pun skor negara kita jauh di bawah rata-rata, yaitu 396 dan rata-ratanya adalah 489.
Pada survei PISA tahun 2018, Cina menduduki peringkat pertama dan Singapura peringkat kedua. Skor Cina dalam bidang literasi, matematika, dan sains adalah 555, 591, dan 590. Indonesia tertinggal sangat jauh.
Adakah yang Salah Dengan Sistem Pendidikan Kita?
Posisi Indonesia yang selalu menempati peringkat sepuluh terbawah dalam survei PISA seharusnya menjadi tamparan bagi pemerintah dan kita semua sebagai warga negara. Sulitnya Indonesia untuk merangkak naik dalam survei PISA mengindikasikan bahwa ada banyak PR pada sistem pendidikan di negara kita. Ada banyak lubang yang perlu ditambal untuk membenahi kompetensi generasi penerus bangsa.
Kita tidak bisa menyalahkan para siswa yang berpartisipasi dalam survei atas terjunnya skor PISA. Rendahnya hasil yang dicapai bukan semata karena para siswa malas membaca dan belajar. Negara kita perlu berbenah secara sistemik dalam bidang pendidikan. Berikut beberapa hal yang memengaruhi penurunan skor PISA Indonesia:
1. Minat Membaca yang Rendah
Data UNESCO menyebutkan bahwa minat baca Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1000 orang hanya 1 orang yang rajin membaca buku. Selain itu, hasil survei World's Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, menunjukkan bahwa minat baca penduduk Indonesia berada pada peringkat 60 dari 61 negara.
Rendahnya minat membaca masyarakat Indonesia membawa dampak yang luas bagi kesejahteraan. Kemampuan akademis yang rendah, kurangnya inovasi dan daya saing yang rendah adalah beberapa dampak rendahnya tingkat literasi. Jika begitu, tak heran skor PISA Indonesia pada bidang literasi amat jauh di bawah rata-rata.
Padahal, kemampuan literasi amat penting dalam kehidupan sehari-hari. Literasi bukan sekadar bisa mengeja dan membaca huruf, tetapi juga kemampuan untuk memahami suatu informasi baik implisit maupun eksplisit. Dengan kemampuan literasi yang baik, masyarakat bisa memahami, mengevaluasi dan menyaring segala informasi yang diterima. Dengan begitu, penyebaran berita palsu dan hoax pun bisa berkurang.
Lantas, kenapa kebanyakan masyarakat enggan membaca? Hal ini pun banyak penyebabnya. Salah satunya adalah akses buku bacaan yang berkualitas masih terbatas. Di Indonesia bagian timur, masih banyak sekolah yang tidak mempunyai buku berkualitas, perpustakaan pun tidak ada.
Selain itu, kesadaran orang tua dan masyarakat akan pentingnya membaca masih kurang. Tak perlu jauh-jauh mengambil contoh, saya cukup melihat lingkungan sekitar. Anak-anak sering dibiarkan berkeliaran di luar rumah dari pagi sampai malam. Kadang mereka berkumpul sambil menonton video youtube, tiktok, atau main game dari HP saja. Tak ada aktivitas membaca buku.
Membacakan buku sejak dini pun masih dipandang sebelah mata dan dianggap sia-sia. "Anak bayi ngapain dibacain buku? Kan belum ngerti." Pertanyaan tersebut sering terdengar dari para orang tua. Padahal, membacakan buku kepada anak sejak dini banyak manfaatnya. Anak akan belajar mendengar kosakata baru, mata pun akan terstimulasi dengan melihat gambar yang ada di buku, dan anak akan terbiasa untuk melihat buku sehingga ia akan terbiasa dengan aktivitas membaca.
Pendidikan untuk anak tidak bisa hanya mengandalkan sekolah. Pendidikan dari rumah adalah yang pertama dan utama, karena sejak lahir anak diasuh dan dididik oleh orang tua. Oleh karena itu, lingkungan keluarga juga penting untuk meningkatkan minat baca anak. Membacakan buku untuk anak setiap hari adalah langkah kecil yang bisa dimulai untuk meningkatkan kemampuan literasi.
Perubahan untuk meningkatkan minat baca harus dimulai dari lingkaran terkecil, yaitu diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Pemerintah pun harus turun tangan memperbaiki sarana dan prasarana demi meningkatkan minat baca dan kemampuan literasi generasi penerus bangsa.
2. Kesenjangan Mutu Pendidikan
Hasil survei PISA 2018 menunjukkan adanya disparitas mutu pendidikan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari skor antar wilayah yang terpaut jauh. Misalnya pada bidang literasi, skor siswa Jakarta dan Yogyakarta setara dengan skor Malaysia dan Brunei Darussalam. Sedangkan daerah lain, utamanya daerah terpencil, mendapat skor yang jauh di bawah rata-rata.
Data ini menunjukkan adanya kesenjangan mutu pendidikan di kota-kota besar dan di daerah terpencil. Beberapa sekolah unggulan yang menjadi favorit orang tua berada di kota besar. Calon siswa berbondong-bondong, berebut, bahkan saling sikut untuk mendaftar ke sekolah favorit tersebut. Sementara, beberapa sekolah di pinggiran terabaikan, sedikit peminatnya karena dianggap sekolah untuk menampung siswa yang tidak diterima di sekolah unggulan.
Bukankah seharusnya semua sekolah mempunyai mutu dan kualitas yang setara bagusnya? Dengan begitu, tidak ada lagi pelabelan sekolah unggulan dan sekolah "buangan". Pemerintah perlu memikirkan solusi untuk meratakan kualitas pendidikan di seluruh penjuru negeri.
3. Kompetensi Guru Rendah
Guru, digugu lan ditiru. Begitu pepatah bahasa Jawa menyebut guru sebagai sosok yang dipatuhi dan diteladani. Untuk menjadi seorang panutan bagi para siswa, tentu seorang guru perlu menunjukkan kualitas dan kompetensi yang bermutu. Sayangnya, dari survei PISA terakhir, masih banyak guru yang kompetensinya masih rendah.
Dari data yang diperoleh dalam survei PISA, ada 5 kategori guru yang dapat menghambat proses belajar siswa, yaitu:
- Guru yang tidak memahami kebutuhan siswa
- Guru yang sering tidak hadir
- Guru yang cenderung menolak perubahan
- Guru yang tidak mempersiapkan materi pelajaran dengan baik
- Guru yang tidak fleksibel dalam proses pembelajaran.
Apalagi di masa pandemi seperti sekarang. Tak hanya bidang kesehatan dan ekonomi yang terdampak. Sektor pendidikan pun tak luput dari dampak buruknya. Proses belajar-mengajar terpaksa dilakukan secara jarak jauh atau online. Hal ini tidak hanya menyusahkan murid dan orang tua, para guru pun perlu memutar otak untuk menciptakan sebuah inovasi agar dapat mengajar dengan baik.
Namun, nyatanya masih banyak guru yang kurang berinovasi untuk dapat mengajar jarak jauh secara maksimal. Tak sedikit guru yang sekadar memberikan tugas kepada para murid, terserah bagaimana mereka mengerjakannya. Akibatnya, peran orang tua pun bertambah, menjadi guru dadakan bagi anaknya di rumah. Padahal, tak semua orang tua paham dengan materi yang ditugaskan.
Beberapa kali saya membaca curhatan para ibu di status sebuah aplikasi chating. Dengan mencantumkan jepretan tugas anaknya yang bertuliskan "Tugas pelajaran A halaman sekian sampai sekian. Pelajaran B, halaman sekian sampai sekian dan seterusnya," para orang tua menuliskan keluh kesahnya dan berharap sekolah segera mulai normal kembali.
Saya juga pernah berbincang dengan seorang guru SMK di Lampung tentang proses belajar mengajar selama pandemi. Menurut cerita beliau, banyak guru yang belum melek teknologi dan tidak mau belajar memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mengajar dengan alasan ribet, terutama guru-guru yang sudah sepuh. Miris dan sangat disayangkan, bukan?
Hal itu membuat dahi saya berkerut sekaligus membatin, "Pantas saja anak-anak sekitar rumah banyak yang berkeliaran dan bermain di jam sekolah." Saya pun pernah bertanya pada salah satu anak tetangga, "Sekolahnya gimana? apa nggak ada pertemuan online dengan guru?" Lalu anak tersebut menjawab, "Nggak ada, cuma dikasih tugas buat dikerjain sendiri di rumah."
Karena saat itu anak saya belum bersekolah, saya tidak merasakan pusingnya para orang tua yang harus menjadi guru pelajaran dadakan. Jika saja semua guru mau dan mampu berinovasi, mungkin proses belajar selama pandemi tetap bisa maksimal walaupun dilaksanakan secara online. Padahal, menguasai teknologi untuk mendukung proses belajar adalah salah satu aspek pedagogik yang perlu dikuasai oleh guru abad 21. Sayangnya, masih banyak guru yang belum menguasai kemampuan pedagogik.
4. Penggunaan Teknologi Belum Maksimal
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, penggunaan teknologi dalam proses belajar mengajar belum maksimal. Masih banyak guru yang gagap teknologi sehingga masih mengandalkan pembelajaran konvensional.
Murid sekarang yang merupakan generasi Z dan generasi alpha lahir di era teknologi dan internet yang sudah berkembang sangat pesat. Teknologi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Belajar dengan cara konvensional mungkin akan terasa membosankan, jadi sudah saatnya para guru berinovasi untuk mengemas metode belajar dengan memanfaatkan teknologi dan internet.
Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informasi, Indonesia menempati urutan kelima dalam kepemilikan gawai. Sebanyak 60 juta penduduk Indonesia memiliki gawai. Riset yang dilakukan oleh lembaga riset digital marketing Emarketer tahun 2018 menunjukkan bahwa lebih dari 100 juta orang Indonesia adalah pengguna aktif smartphone. Bahkan, orang Indonesia bisa menatap layar gawai selama kurang lebih 9 jam per hari.
Sayangnya, kepemilikan gawai tidak lantas membuat masyarakat bijak dalam menggunakannya. Masih banyak yang hanya menggunakan gawai untuk scrolling media sosial dan berkicau tanpa faedah. Tak heran Indonesia menempati urutan kelima dalam hal keaktifan di media sosial. Tak heran pula banyak berita palsu dan hoax yang beredar, dan mirisnya banyak yang termakan dengan berita hoax. Itulah salah satu akibat dari minat baca yang rendah, ilmu yang sangat minimal, tetapi ingin eksis di dunia maya.
Coba bayangkan jika semua pemilik gawai tersebut bisa memanfaatkan teknologi dan internet dengan bijak. Kita bisa membaca e-book, jurnal, atau artikel ilmiah dari gawai. Berdiskusi dengan teman satu kelas bisa dilakukan tanpa harus bertatap muka. Kita bisa mengakses video edukasi kapan pun kita butuh.
Jika sekolah dan guru memanfaatkan segala kecanggihan tersebut, maka jarak dan waktu bukanlah sebuah hambatan. Tugas sekolah pun bisa dibuat dengan lebih kreatif misalnya dalam bentuk gamifikasi, proyek membuat video atau konten, dan lainnya yang lebih menyenangkan bagi para siswa. Terlebih lagi, sekarang banyak aplikasi yang bisa dimanfaatkan oleh guru untuk membuat pembelajaran yang lebih interaktif.
Strategi Untuk Meningkatkan Skor PISA Indonesia
Bagaimana bisa kita kalah jauh dari negara tetangga kita, Singapura? Padahal, Indonesia dan Singapura hanya dipisahkan oleh satu selat. Kondisi geografis dan jumlah penduduk Indonesia memang tidak bisa dibandingkan dengan Singapura, tidak apple to apple. Singapura hanya seluas Jakarta lebih sedikit, jumlah pulau besarnya pun hanya tiga. Berbeda dengan Indonesia yang membentang seluas 1,919 km2 dari Sabang sampai Merauke dengan ribuan pulau. Akan tetapi, tak ada salahnya untuk belajar dari negara-negara lain yang menduduki peringkat teratas skor PISA dan mengadopsi inovasi yang cocok untuk negara kita.
Belajar dari hasil survei PISA, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan untuk mendongkrak skor PISA Indonesia, yaitu:
1. Perbaiki Kualitas dan Eksistensi Perpustakaan
Tak hanya kuantitas perpustakaan yang perlu diperbanyak, kualitias dan eksistensinya pun perlu diperbaiki. Masih banyak perpustakaan sekolah maupun perpustakaan daerah yang kurang terawat. Seringkali ruang perpustakaan hanya memanfaatkan ruangan kosong yang tidak terpakai. Letaknya pun kurang strategis, "terbelakang", dan "tersembunyi" sehingga tak banyak yang mampir ke perpustakaan untuk membaca. Keberadaan perpustakaan pun tak ada bedanya dengan gudang buku.
Jika ingin meningkatkan minat baca siswa, maka eksistensi perpustakaan perlu dimaksimalkan. Koleksi buku bacaan yang berkualitas dan menarik perlu diperbanyak, serta perlu adanya pustakawan yang meregulasi perpustakaan. Perpustakaan yang "hidup" akan lebih menarik siswa untuk datang dan membaca buku.
2. Manfaatkan Teknologi
Sesuai dengan karakteristik generasi Z dan generasi alpha yang sangat akrab dengan teknologi, maka guru dan sekolah perlu beradaptasi dengan kemajuan zaman. Kini, proses belajar bisa berjalan menggunakan video interaktif, gamifikasi, dan lainnya, tidak melulu dengan membaca buku paket. Metode pembelajaran yang menarik dan kekinian tentu akan lebih membuat murid bersemangat untuk belajar.
3. Libatkan Siswa Dalam Aktivitas Membaca
Dari hasil survei PISA 2018, siswa yang sering dilibatkan guru dalam aktivitas membaca mendapat skor literasi 30 lebih tinggi daripada siswa yang jarang atau tidak pernah terlibat dalam aktivitas membaca. Oleh karena itu, guru perlu lebih sering mengajak siswa untuk membaca bersama. Bukan sekadar membaca rangkaian huruf, melainkan juga menganalisis suatu bacaan.
Guru bisa melatih kemampuan literasi siswa dengan mengajak siswa berdiskusi. Misalnya berdiskusi tentang ide pokok bacaan, isi cerita dari sebuah buku, tokoh cerita, menganalisisi masalah dalam bacaan, dan berbagai diskusi lainnya yang dapat memicu para siswa untuk memahami isi bacaan.
Guru juga bisa menugaskan siswa untuk merangkum. Namun, perlu dipastikan bahwa merangkum tidak sama dengan menyalin. Oleh karena itu, guru perlu memeriksa apakah siswa merangkum bacaan dengan bahasanya sendiri atau sekadar menyalin isi buku.
Jenis bacaan yang dibaca juga harus bervariasi. Tidak melulu buku teks pelajaran, tetapi juga buku fiksi, bahkan peta atau diagram. Dengan begitu, kemampuan literasi siswa bukan hanya bisa membaca, tetapi juga bisa memahami berbagai jenis bacaan.
4. Perbaiki Kualitas Guru
Di Indonesia, masih banyak guru dengan latar belakang bukan dari pendidikan. Oleh karena itu, banyak guru yang belum menguasai kemampuan pedagogik. Padahal, guru adalah komponen fundamental dalam pendidikan di sekolah.
Untuk meningkatkan kualitas guru, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan program guru penggerak. Program ini bertujuan untuk menyeleksi dan melatih guru agar mampu menjadi pemimpin pembelajaran.
Dengan adanya berbagai program dari pemerintah ini, semoga kualitas dan kesejahteraan guru senantiasa diperhatikan agar pendidikan Indoensia lebih maju.
Tingkatkan Kompetensi Guru Bersama KOCO Schools
Untuk para bapak dan ibu guru yang ingin meningkatkan kemampuannya, kini ada
KOCO Schools. KOCO Schools merupakan
platform yang dapat membantu guru untuk mengatur pembelajaran yang terintegrasi secara otomatisasi digital. Apa saja kemudahan yang bisa guru dapatkan dengan bergabung di KOCO School?
Mengunggah dan Membagikan Tugas Kepada Siswa Dengan Mudah
Kini, guru tak perlu membagikan tugas kepada siswa secara manual. Dengan bergabung di KOCO Schools, bapak dan ibu guru bisa mengunggah tugas dan membagikannya kepada siswa dengan sekali klik dalam satu waktu. Tidak hanya dalam satu kelas, guru bisa membagikan tugas ke beberapa kelas sekaligus.
Selain itu, KOCO Schools juga mempunyai fitur KOCO quiz untuk membantu para guru membuat soal bagi siswa. Guru hanya perlu memilih materi pelajaran, topik, dan jumlah soalnya kemudian soal akan dibuat secara otomatis. Ada puluhan ribu bank soal yang siap digunakan. Jadi, hanya perlu 10 menit untuk membuat soal. Jika murid sudah mengerjakan kuis yang diberikan maka akan ada notifikasinya. Nilai siswa akan terakumulasi secara otomatis.
Fitur Anotasi Untuk Memberikan Catatan Kepada Siswa
Jika guru ingin memberikan catatan kepada siswa ketika mengoreksi tugas, maka bisa menggunakan fitur anotasi ini. Dengan begitu, guru tetap bisa memberikan tanda dengan tinta merah di lembar kerja siswa seperti ketika ujian biasa. Ketika selesai mengoreksi, guru bisa mengirimkan kembali hasil koreksinya kepada siswa.
Memantau Perkembangan Siswa
KOCO Schools juga menyediakan fitur yang membantu guru memantau perkembangan siswa secara individual. Dengan begitu, guru bisa mengetahui kemampuan masing-masing siswa dan mengidentifikasi aspek apa yang perlu dikembangkan pada siswa.
E-book Gratis
Guru juga bisa mengakses buku digital secara gratis di KOCO Schools. Ada ratusan buku dari kemendikbud yang bisa diakses sebagai bahan mengajar. Selain itu, ada juga e-book untuk meningkatkan kemampuan guru misalnya buku tentang pedagogi dan hybrid learning.
Dengan banyaknya buku digital yang tersedia, bapak dan ibu guru bisa mengajak siswa untuk lebih rajin membaca dan melibatkan siswa dalam kegiatan membaca. Dengan begitu, diharapkan kemampuan literasi para siswa bisa meningkat.
KOCO Academy
KOCO Academy adalah
platform untuk meningkatkan kemampuan dan
kompetensi guru. Banyak pelatihan dan webinar bersertifikat untuk para guru yang sudah diadakan oleh KOCO Schools. Pematerinya pun adalah praktisi pendidikan dan ahli di bidang pendidikan sehingga bisa meningkatkan wawasan dan kemampuan para guru. Dalam waktu dekat, KOCO Academy akan mengadakan pelatihan bertajuk "Sukses Beradaptasi Menghadapi Asesmen Nasional", sudahkah bapak dan ibu guru mendaftar?
Dengan inovasi ini, semestinya para guru bisa lebih mengintegrasikan proses pembelajaran. Pandemi tak seharusnya menjadi hambatan untuk tetap mengajar para siswa secara maksimal. Pembelajaran jarak jauh akan tetap terasa menyenangkan dengan KOCO Schools.
Mari Berjuang Bersama Untuk Meningkatkan Literasi
Untuk meningkatkan kemampuan literasi anak bangsa, kita tidak bisa hanya mengandalkan satu pihak saja. Keluarga, guru, dan pemerintah harus saling bergotong royong. Orang tua dan keluarga perlu menciptakan lingkungan rumah yang lekat dengan aktivitas membaca. Sekolah dan guru perlu meningkatkan mutu dan kemampuan agar dapat mendampingi siswa dengan lebih baik di sekolah. Dan pemerintah perlu memperbaiki infrastruktur seperti perpustakaan, dan memeratakan kualitas pendidikan di seluruh daerah Indonesia. Dengan berjuang bersama, semoga kemampuan literasi anak bangsa semakin meningkat dan Indonesia semakin maju.
sumber data:
https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-medsos/0/sorotan_media
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/12/hasil-pisa-indonesia-2018-akses-makin-meluas-saatnya-tingkatkan-kualitas
https://litbang.kemdikbud.go.id/pisa
https://blog.kocoschools.com/program-penilaian-pelajar-internasional-pisa-dan-studi-kasus-singapura/
https://www.kocoschools.com/
https://sekolah.penggerak.kemdikbud.go.id/gurupenggerak/
0 Comments