"Tak Masalah Jadi Orang Biasa", adakah yang janggal dari judul buku ini? Ketika kebanyakan buku membahas cara menjadi orang sukses, kiat menjadi orang luar biasa, dan berbagai motivasi untuk meraih cita-cita setinggi langit, buku ini berbeda. Namun, justru inilah yang membuatku tertarik untuk membeli. Seolah aku mendapat sebuah dukungan.
Di saat kebanyakan orang lain seumuranku dan teman-teman seangkatanku sudah mendaki tangga sangat tinggi, aku bahkan belum mendapatkan tangga untuk kudaki. Hanya bisa melongok ke atas hingga leher terasa pegal dan mata silau. Di saat orang lain berambisi menjadi seorang yang hebat, aku cukup dengan begini-begini saja. Di saat kebanyakan orang berlomba-lomba untuk menjadi luar biasa, aku masih menjadi orang biasa.
Padahal, berlomba-lomba untuk menjadi luar biasa adalah salah satu penyebab insecure. Karena inilah aku memutuskan untuk memesan buku ini di masa pre order. Di buku ini, penulis menuliskan beberapa kegelisahannya tentang menjadi orang biasa. Apakah semua orang harus menjadi luar biasa? Jika semua orang luar biasa, bukankah berarti tidak ada yang luar biasa? Jika kamu merasa tidak nyaman menjadi "orang yang biasa" dan sering merasa minder dengan kehidupan orang lain, mungkin buku ini cocok untukmu.
Kapan kali terakhir kamu melihat orang lain tanpa merasa hidupmu lebih buruk dari hidupnya? Kapan kali terakhir kamu menikmati hidup tanpa terganggu oleh cara orang lain menikmati hidupnya? kapan kali terakhir kamu berjalan tanpa merasa ditinggalkan oleh orang-orang di sekelilingmu?
Judul buku: Tak Masalah Jadi Orang Biasa
Penulis: Urfa Qurrota Ainy
Penerbit: CV. IDS
Jumlah halaman: 202 halaman.
Tentang "Tak Masalah Jadi Orang Biasa"
Di awal buku, penulis memaparkan semacam disclaimer agar para pembaca tidak salah paham. Buku ini bukan bertujuan untuk menghalangi seseorang untuk berambisi menjadi orang luar biasa. Bukan pembenaran terhadap sikap malas-malasan dan mager dengan alasan tak masalah jadi orang biasa. Menjadi orang biasa bukan berarti tidak berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat. Namun, tidak melulu dengan peran yang "wow", dipandang banyak orang, dan mempunyai panggung yang berkilauan.
Konteks biasa dan luar biasa yang dimaksud dalam buku ini adalah status yang kita lekatkan pada seseorang. Zaman sekarang, umumnya orang yang dianggap luar biasa adalah orang dengan status yang tinggi. Misalnya, orang yang berhasil mencapai jabatan tinggi, punya harta, tahta, dan wanita, punya followers instagram yang jutaan, subscriber YouTube yang tak kalah banyak, dan banyak lagi. Belum lagi tentang fisik, entah bagaimana muncul stereotip bahwa cantik berarti putih, tinggi, langsing. Jika kamu memiliki status-status tersebut, biasanya kamu akan dianggap orang yang luar biasa.
Sebaliknya, jika tidak ada status di atas yang melekat, maka kamu akan dilihat sebagai orang yang biasa. Coba kusebutkan satu contoh ya, ibu rumah tangga. Kira-kira lebih banyak yang menganggap ibu rumah tangga adalah profesi yang biasa saja atau luar biasa? Jawab saja dalam hatimu secara jujur.
Sebenarnya bukan hal yang salah jika menginginkan untuk menjadi luar biasa. Namun, yang menjadi permasalahan adalah jika sampai menjadi obsesi. Sering kali seseorang ingin menjadi luar biasa, tetapi keadaan kurang mendukung. Saat keadaan seperti itu, akankah kita masih menganggap diri kita berharga? Jika menjadi orang yang luar biasa menjadi cita-cita tertinggi hingga menjadi obsesi, maka berisiko untuk tidak pernah merasa puas, akhirnya menjadi insecure.
Bagian Pertama "Tak Masalah Jadi Orang Biasa": Pertanyaan yang Menghantui
Bagian pertama berisi tentang pertanyaan-pertanyaan yang sering menghantui. Ada sembilan "kenapa" yang dijabarkan, yang sering menjadi kecemasan banyak orang.
1. Kenapa aku tertinggal dari mereka?
Ketika reuni atau berkumpul dengan teman-teman lama atau keluarga, biasanya apa yang ditanyakan? "Sekarang kerja dimana?"
"Apa aktivitas sekarang?"
"Sudah punya calon?"
Apa lagi ya kira-kira? Mungkin ada banyak hal yang membuat kita merasa tertinggal dari orang lain. Kenapa bisa begitu? Sejak kecil kita telah terbiasa dibandingkan dan dipaksa "berkompetisi". Lihat saja para orang tua yang membandingkan kapan anaknya bisa berjalan, berlari, berbicara, padahal anak bukanlah kuda yang harus dipacu untuk adu cepat. Tak hanya itu, di sekolah pun juga kita terbiasa untuk berebut ranking. Karena terlalu sering melihat keluar diri kita, kita menjadi sering merasa iri dengan orang lain.
2. Kenapa aku tak seambisius mereka?
Di bagian ini penulis memaparkan tentang prinsip hidup seperti air mengalir. Selama ini aku tidak setuju dengan hidup seperti air mengalir, hanya mengikuti arus dengan pasrah. Sudah semestinya kita mengendalikan hidup kita sendiri, ingin berjalan ke arah mana.
Namun, ternyata filosofi hidup seperti air mengalir yang dijelaskan di buku ini tidak seperti yang aku bayangkan. Baru kali ini aku setuju dengan prinsip hidup mengalir saja. Lihat saja pembangkit listrik tenaga air, ternyata mengalir ke tempat yang rendah bisa menjadi sumber kekuatan yang baru.
3. Kenapa aku tak seproduktif mereka?
Zaman sekarang, istilah produktif terlalu dibesar-besarkan. Pokoknya kita harus menjadi manusia yang produktif. Bahkan di masa pandemi ini, banyak bermunculan kampanye "
produktif dari rumah". Rasanya sayang jika waktu yang ada hanya dipakai untuk beristirahat, sekadar rebahan, atau ngobrol dengan keluarga. Hal itu bisa terjadi jika produktif dinilai berdasarkan menghasilkan uang.
Lalu, apakah berarti menjadi produktif itu salah? Tergantung pada tolok ukurnya. Jika produktif berarti memanfaatkan apa yang dimiliki agar menjadi bermanfaat, maka kita harus produktif. Tidur bisa produktif karena untuk menjaga kesehatan, menjadi ibu rumah tangga pun produktif karena memakai tenaga, pikiran, dan waktunya demi keluarga. Jadi, tergantung definisi produktifnya.
4. Kenapa hidupku tak semenarik hidup mereka?
Seberapa sering kamu membuka instagram lalu melihat hidup orang lain kok bahagia sekali. Sementara diri sendiri begini-begini saja. Banyaknya media sosial membuat seseorang lebih mudah membandingkan diri dengan orang lain. Namun, apakah benar bahwa hidupmu tak semenarik mereka, atau hanya karena media sosial hanyalah menjadi tempat "pamer"?
5. Kenapa aku tak secantik mereka?
Apakah cantik itu benar-benar relatif? Ataukah "cantik itu relatif" hanya untuk menghibur mereka yang tidak memenuhi standar kecantikan? Banyak bintang iklan adalah perempuan kulit putih mulus, tinggi, langsing, hidung mancung. Mau tak mau begitulah standar kecantikan yang terbentuk di masyarakat. Jadi, daripada membohongi diri sendiri lebih baik menerima diri sendiri apa adanya. Toh, kualitas diri tidak ditentukan dari kecantikan.
6. Kenapa aku tak sekaya mereka?
Ada orang yang untuk makan saja harus mengais-ais recehan di kantong, ada pula yang dengan ringan membeli secangkir kopi seharga 5 kilo beras. Namun, apakah harus menjadi kaya dengan menggunakan semua cara dan mengorbankan hal yang lebih penting, misalnya sebuah prinsip?
Menjadi kaya tentu adalah hal yang bagus, kita tak perlu pusing memikirkan kebutuhan hidup dan bisa leluasa bersedekah. Akan tetapi, tak perlu ngoyo. Yang penting adalah merasa cukup dan bekerja dengan nilai. Apa itu bekerja dengan nilai? Silakan baca sendiri bukunya, hehe.
7. Kenapa cita-citaku tak setinggi langit?
Ketika penulis berusia 14 tahun, dia ditanya tentang cita-citanya. Lalu dia menjawab ingin menjadi ibu rumah tangga. Bisakah kamu membayangkan bagaimana reaksi yang mendengarnya? Biasanya anak-anak akan menjawab menjadi presiden, astronot, dokter, dan lainnya. Pokoknya cita-cita yang setinggi langit. Namun, seperti apakah cita-cita setinggi langit itu?
Cita-citaku dari kecil berubah-ubah hingga akhirnya tertuju pada satu, yaitu menjadi dokter. Alhamdulillah kini aku berhasil menjadi dokter, lalu apakah aku merasa puas? Di satu sisi aku sangat bersyukur berhasil mewujudkan cita-citaku dan memenuhi keinginan orang tua. Namun, di sisi lain aku merasa ada yang kurang, karena aku tidak sepenuhnya menjadi dokter seperti yang orang-orang pikirkan. Karena itu, sepertinya ada mindset-ku yang perlu diperbaiki.
8. Kenapa aku terus-terusan merasa kurang?
Apa yang menyebabkan seseorang selalu merasa kurang dalam hidupnya? Beberapa jawabannya adalah karena menginginkan semuanya, mengharapkan kesempurnaan, dan memandang hidup sebagai perlombaan.
Penerimaan dan penilaian orang lain seperti menjadi hantu yang mengejar-ngejarnya. Jauh di dalam hatinya, ia lelah berlari. Sesekali ia menyendiri, membuka topengnya, dan menangis sejadi-jadinya. Namun, ia terlalu takut bahkan sekadar untuk menjadi manusia biasa ssekalipun.
9. Jika aku hanya orang biasa, apakah aku tetap diterima?
Menerima diri sendiri bukanlah hal yang terlalu sulit. Namun, yang sulit adalah menerima bahwa tidak semua orang akan menerima kita. Melawan rasa takut terhadap penolakan bisa terasa lebih sulit. Ketika kita takut orang lain akan menolak kita, maka kita akan berusaha menjadi orang lain agar mendapat penerimaan.
Ketika seorang ibu rumah tangga sudah merasa nyaman dengan perannya, lalu ada orang yang berkomentar, "Aduh sayang sekali sudah sekolah tinggi tapi hanya di rumah saja." Sejak mendengar komentar itu, si ibu rumah tangga menjadi tidak nyaman, bahkan mungkin merasa tidak berharga. Sejak itu, ia tidak lagi menjiwai perannya sebagai ibu.
Namun, apakah kita perlu pengakuan semua orang? Tidak, kan? Kita bisa hidup dengan baik-baik saja meski tidak semua orang menerima kita. Yah, bagiku, mungkin saatnya menutup telinga dari segala komentar yang mengganggu.
Disanjung karena kecantikan, kepintaran, ketenaran, profesi, bakat, atau uang jelas membanggakan. Namun, dicintai, diterima, dan dihhormati sebagai manusia biasa adalah kebahagiaan yang tak ada tandingannya.
Bagian Kedua "Tak Masalah Jadi Orang Biasa?": Jawaban-jawaban yang Kutemukan
Di bagian ini, penulis memaparkan beberapa hal, beberapa di antaranya adalah tentang sindrom luar biasa, cara menikmati hidup jadi orang biasa, dan orang-orang yang terlihat "biasa" di zaman Rasulullah.
Banyak orang yang menganggap dengan menjadi luar biasa maka akan membuat hidup menjadi bahagia. Padahal, tidak semudah itu. Di balik semua status luar biasa yang disandang, ada usaha dan konsekuensi yang dijalani. Oleh karena itu, penting untuk memikirkan matang-matang, sebenarnya apa yang kita inginkan dan apa yang kita butuhkan. Apakah tujuan kita adalah menjadi orang luar biasa atau menjadi orang yang bermanfaat?
Menjadi orang biasa pun ternyata punya banyak keuntungan, yaitu cenderung terhindar dari penyakit mental, tak pusing menjadi sorotan, diterima dan dicintai apa adanya, tak perlu repot memuaskan banyak orang, bisa
bahagia dengan hal sederhana, dan lainnya bisa dibaca sendiri di bukunya.
Oh iya, ada juga kiat untuk menikmati hidup menjadi orang biasa, silakan baca sendiri saja ya. Di bagian akhir, ada kisah beberapa kisah orang biasa di zaman Rasul yang ternyata adalah orang luar biasa di langit, yaitu Uwais Al-Qarni, Sya'ban r.a., dan pria Ansar yaang suka memaafkan. Tenang saja, surga pun terbuka bagi orang biasa yang mendapat rahmat dari Allah.
Kesan terhadap Buku "Tak Masalah Jadi Orang Biasa"
Jujur saja buku ini relate dengan hidupku. Selama membaca aku sering membatin, "nah gini juga aku," "oh, ini sama banget kayak aku", dan aku banyak mengangguk-angguk. Bukunya pun ringan dan ada ilustrasinya, lucu dan gemas. Aku sangat merekomendasikan untuk kamu yang merasa kurang puas terhadap diri sendiri dan merasa insecure.
Namun, ada beberapa hal yang menggangguku, yaitu tentang cara penulisan. Aku bukanlah ahli bahasa ataupun ahli PUEBI. Namun, karena aku juga sedang belajar menulis, entah kenapa ketika membaca buku jadi menyoroti tata penulisan juga. Misalnya penulisan kata "dan" di awal kalimat, aku jumpai berkali-kali, serta penulisan orangtua tanpa spasi. Aku cari di KBBI adanya orang tua (dengan spasi), baik untuk orang tua kandung ataupun orang yang sudah tua. Kalau penulisan "enggak", sepertinya memang sengaja dibuat begitu ya. Itu saja, sih. Semoga berkenan. Sekian dan terima kasih.
2 Comments
Kayaknya saya juga perlu baca buku ini nih, hehe. Memang kadang suka ngerasa insecure dengan diri sendiri kalau lihat orang lain lebih dari diri sendiri. Oia, saya juga ada resensi novel "Orang-Orang Biasa" karya Andrea Hirata. Mampir ke blog saya juga ya, salam kenal :)
ReplyDeleteiya mbak, biar ngga insecure hehe. Wah, saya baru baca novelnya, tp blm lanjut ke guru aini. Sipp, nanti insya Allah mampir ke blognya. Makasih sudah mampir ke sini, salam kenal juga :)
Delete